Beranda » Azrul Ananda » Liburan di Antara Kesibukan Eyang

Liburan di Antara Kesibukan Eyang

oleh : Azrul Ananda, Dirut Jawa Pos Koran
14 Januari 2015

Tahun baru, semangat baru. Biasanya sih begitu.

Banyak orang baru kembali dari liburan, baru selesai tekan tombol reset dan memulai lagi ”mesin kehidupan”.

Terus terang, bagi saya dan keluarga besar, 2015 ini bermula dengan sesuatu yang belum pernah kami lakukan bersama: Benar-benar liburan keluarga bersama.

Terus terang, keluarga kami termasuk keluarga ”tidak normal”. Dan ini cerita tentang liburan keluarga ”tidak normal” itu…

***

Sejak saya kecil, kami nyaris tidak pernah berlibur bersama. Saya dan adik saya, Isna, kebetulan punya ayah bernama Dahlan Iskan. Seorang ”Superman” yang gila kerja dan kebetulan bekerja di dunia koran yang membuatnya bekerja nyaris 24 jam.

Ketika kecil, kami berangkat sekolah di pagi hari, abah –panggilan kami untuk beliau– masih tidur karena baru pulang dini hari. Ketika kami pulang di siang hari, beliau sudah berangkat kerja. Ketika dia sempat pulang sore hari, kami tidak di rumah karena bermain di luar atau les.

Ketika kami kembali menjelang gelap, beliau sudah berangkat lagi, kerja sampai dini hari.

Yada yada yada, waktu berlalu…

Lulus SMP, saya berangkat ke Amerika untuk mulai SMA di sana. Adik saya menyusul tiga tahun kemudian, juga setelah lulus SMP. ”Mumpung mampu,” kata abah.

Sesekali beliau atau ibu mampir ke Amerika. Dan kami pun diminta pulang ke Indonesia minimal setahun sekali (supaya terus ”menginjak bumi,” kata abah).

Yada yada yada, waktu berlalu…

Setelah lulus kuliah dan saya mulai melangkah di Jawa Pos, hubungannya tidak seperti abah-anak. Sering berantem karena pekerjaan. Saya sering ngamuk-ngamuk karena menganggap abah membuat keputusan yang salah (kadang saya benar) dan dia sering memarahi karena menganggap saya berbuat salah (kadang dia benar).

Sama-sama sibuk. Tidak ada waktu untuk liburan sendiri-sendiri. Apalagi liburan bersama.

Yada yada yada, waktu berlalu…

Pada 2007, ketika abah berkutat dengan proses ”Ganti Hati”-nya, kami sekeluarga diminta bersama di Tiongkok. Berbulan-bulan bersama di Tianjin, pada suatu hari kami benar-benar berada di ruang (rumah sakit) yang sama selama beberapa jam.

Rasanya aneh.

Saking anehnya, saya nyeletuk, ”Kayaknya ini kali pertama kita benar-benar satu ruangan selama berjam-jam…”

Abah kemudian berhasil menaklukkan cobaan hidupnya yang terberat itu…

Yada yada yada, waktu kembali berlalu…

Abah memulai hidupnya di pemerintahan, mendedikasikan hidupnya untuk memajukan bangsa ini. Pindah ke Jakarta bersama ibu, orang paling tabah sedunia.

Kalau weekend, abah dan ibu beberapa kali pulang. Tapi, bukannya bersama keluarga. Yang namanya pejabat, lebih banyak tamu yang datang. Bahkan, acara santai keluarga pun kadang ”terganggu” oleh tamu-tamu, yang kadang-kadang tidak diundang.

Jujur, saya benar-benar merasakan kalau enak jadi anak pengusaha daripada jadi anak pejabat…

Hebatnya, abah dan ibu selalu sempat menengok cucu-cucu.

Lucu juga sudut pandang kakek dan nenek.

Dulu, waktu kecil, ketika minta dibelikan mainan kereta api, saya malah diberi sapu lidi dan segenggam karet gelang. ”Bikin relnya dulu,” kata abah.

Ketika kepada ibu minta dibelikan mobil-mobilan seharga Rp 3.500, malah dibelikan sepeda motor plastik seharga Rp 1.850…

Sekarang cucu-cucu punya mainan terbanyak di dunia.

Tidak apa-apa, ha ha ha. Wong dulu, waktu saya masih kecil, kami memang tidak punya uang. Lagi pula, sekarang kami –anak-anak– sudah punya cukup uang untuk beli mainan-mainan mahal sendiri…

Yada yada yada, waktu berlalu…

Abah tidak lagi jadi pejabat. Ibu tampaknya yang paling bahagia. ”Abah sudah merdeka, Lik,” katanya dengan wajah berbinar-binar.

Ulik adalah panggilan mereka untuk saya.

Karena ibu adalah orang yang paling harus tabah, saya bisa membayangkan betapa bahagianya ibu ketika momen itu benar-benar tiba.

Tidak lagi jadi pejabat bukan berarti abah tidak lagi sibuk. Percaya deh, abah ini orang paling sibuk sedunia. Kalau tidak ada kesibukan, dia akan mencari kesibukan sendiri.

Satu yang saya ucapkan terima kasih terbesar: Dia memutuskan tidak mau kembali tinggal di Surabaya. Salah satu alasannya, dia tidak mau mengganggu saya di Jawa Pos.

Bagi seseorang yang mengorbankan begitu banyak untuk mengembangkan sesuatu, adalah sesuatu yang luar biasa bagi abah untuk bisa melakukan itu.

Pernah dia berpesan bahwa kita harus mampu untuk let go. Benar-benar melepas sesuatu ketika benar-benar harus melepasnya. Jangan menggandoli, jangan mengganggu. Malah bikin tersiksa, katanya.

Saya rasa, kita semua tahu, tidak banyak orang yang bisa seperti itu. Bisa mengantisipasi dan menaklukkan post-power syndrome sebelum menghadapinya.

Ada banyak teman saya yang second generation sampai sekarang kesulitan berkembang karena masih ”digandoli” orang tuanya. Saya bersyukur tidak seperti itu…

Yang saya dan adik saya juga merasa bersyukur, abah sekarang bisa merasakan hidup yang lebih ”normal”. Pernah sekali dia menjemput cucu dan mengantarkan mereka ke sekolah. Pernah dia ikut masuk kelas dan mengajar.

Seingat saya, dulu saya hanya sekali diantar abah ke sekolah. Waktu itu masih SD dan dia membawa sabuk. Wkwkwkwkwkwk, dia memaksa saya sekolah gara-gara saat itu saya sedang menjalani fase tidak mau sekolah…

Yada yada yada, liburan pun tiba…

Penghujung 2014 adalah kesempatan bagi keluarga kami untuk benar-benar berlibur bersama. Abah, ibu, anak, dan cucu.

Saya sendiri biasanya hanya mendengar atau melihat teman berlibur bersama keluarga di akhir tahun. Sebab, biasanya pas akhir tahun saya di kantor.

Pernah sebelumnya abah pergi bersama adik saya dan keluarga. Tapi, rasanya kok tidak seperti liburan. Karena masih dibumbui pekerjaan (dan tamu-tamu).

Dan abah ini benar-benar orang yang tidak bisa santai. Ketika di Tiongkok dan punya waktu luang, dia pernah mengajak saya pergi ke kota lain. Ke mana? Caranya gampang. Pergi ke bandara. Lihat papan jadwal penerbangan, lalu pergi ke kota yang penerbangannya paling segera berangkat.

”Ke Dalian yuk,” kata abah.

Dari Dalian begitu lagi. Ke bandara seenaknya, lihat papan jadwal, lalu memutuskan, ”Ke Qingdao yuk.”

Tapi, kali ini kami benar-benar berusaha menjadikan acara itu benar-benar liburan sekeluarga.

Tujuan? Penentuannya juga seru. Abah mengusulkan ”tempat-tempat ajaib” yang butuh ”setengah perjuangan” untuk menuju ke sana.

Untung, dia bisa ”disadarkan” bahwa cucu-cucunya beberapa masih berumur 5 tahun. Pilihan pun ke Portugal dan Spanyol. Bukan pilihan yang utama pula sebenarnya. Lha ngapain ngajak anak-anak kecil ke Eropa lihat gedung-gedung tua?

Tapi, akhirnya itu ”kompromi” terbaik.

Dasar abah, disuruh benar-benar santai memang tidak tahan.

Di Portugal, ketika bosan dengan Lisbon, menyempatkan diri naik kereta ke Porto. Bukan menginap atau jalan-jalan. Pokoknya naik kereta pagi selama tiga jam ke Porto. Lihat kotanya. Lalu, naik kereta lagi selama tiga jam, balik ke Lisbon di siang hari.

Di Cordoba, Spanyol, lagi-lagi dia bosan. Pagi-pagi dia sewa mobil dan sopir sendiri, lalu menyempatkan diri mengunjungi sebuah pembangkit listrik bertenaga matahari yang tak jauh dari sana.

Siang sudah balik. Jadi, sudah kembali makan dan jalan-jalan bersama anak dan cucu. Malam-malam atau pagi-pagi lain pun begitu. Kalau bosan, bisa jalan kaki sendiri keliling kota.

Beberapa kali pula dia berusaha mengubah jam kereta atau pesawat dari jadwal yang sudah direncanakan. Untung, dia bisa terus disadarkan bahwa ”sirkus” kami adalah bus berisi anak-anak kecil. Bukan mobil reli yang bisa ngepot pindah haluan dengan cepat.

Ha ha ha ha… Memang orang yang tidak bisa diam.

Yada yada yada, liburan berakhir…

Mendarat di Jakarta di sore hari, rombongan utama melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya. Abah? Langsung ada jadwal rapat malam itu juga.

Banyak orang pulang liburan yang santai sebentar, baru Senin kembali tancap gas. Kalau disuruh seperti itu, abah mungkin bisa gila, ha ha ha ha

Well, liburan sudah berakhir. Waktunya menjalani 2015. Ini bukan tahun politik. Jadi, ini tahun business as usual. Segala perencanaan, segala program, bisa lebih tenang dijalankan.

Bagi banyak orang, hidup kembali normal. Bagi keluarga kami, waktunya kembali ke jalur yang ”tidak normal”… (*)


1 Komentar

Tinggalkan komentar