Laman

Arsip Blog

Berpisah dengan Happy

13 Mei 2015

Apa arti jabatan? Mengapa gengsi begitu mahal? Kenapa tidak happy-happy saja?

***

Resmi sejak Minggu, 10 Mei lalu, saya melepas satu dari tumpukan topi jabatan yang (imajiner) ada di kepala saya. Setelah diminta tolong mengembalikan pamor liga basket profesional lima tahun lalu, Minggu lalu saya resmi menggantung topi bertulisan ”commissioner” (dalam artian liga olahraga seperti CEO) National Basketball League (NBL) Indonesia.

Bagi yang tidak mengikuti kiprah basket Indonesia, segalanya bisa dicari secara online kok. Bahwa setelah grand final Minggu lalu, PT DBL Indonesia yang saya bentuk tidak lagi memperpanjang kontrak pengelolaan liga basket tertinggi tersebut.

Sejak mengumumkan keputusan itu sekitar seminggu sebelumnya, tidak henti saya mendapat pertanyaan-pertanyaan. Yang paling utama: Mengapa?

Bukankah liga basket ini terus berkembang selama lima tahun?

Ya, NBL Indonesia dalam lima tahun berkembang begitu pesat. Ketika diminta tolong oleh klub-klub peserta pada akhir 2009, liga sebelumnya (Indonesian Basketball League alias IBL) sudah mati suri.

Dalam lima tahun, NBL Indonesia jadi tontonan bergengsi. Dengan jumlah penonton (dan revenue tiket, yang ada bagi hasilnya dengan klub peserta) terus meningkat.

Kualitas pertandingan juga terus meningkat. Bila dulu didominasi, kini sangat ketat. Jumlah game ketat terus meningkat. Kejutan-kejutan makin sering muncul. Dan pada musim terakhir 2014-2015, di babak Championship Series 2–10 Mei lalu, ada tim peringkat kedelapan (Stadium) yang menjadi darling baru para penggemar, mampu mengalahkan juara bertahan Aspac dan melangkah ke semifinal.

Stadium adalah penghuni peringkat kedelapan dari total 12 tim peserta!

Para pemain muda kini juga mendominasi liga. Bila dulu seperti ada generation gap akibat tidak adanya konsistensi liga dan –sebagai dampak lanjutan– minimnya investasi klub, maka kini para bintang muda sudah menjadi tulang punggung liga.

Kebanyakan adalah ”anak-anak” yang sudah saya kenal sejak masih SMA, bermain di liga basket pelajar DBL (Developmental Basketball League), yang kami selenggarakan sejak 2004.

Pada musim 2014-2015 ini, yang muncul sebagai Most Valuable Player (MVP) adalah Adhi Pratama. Baru berusia 22 tahun, Adhi memulai karir profesionalnya bersamaan dengan dimulainya NBL Indonesia 2010 lalu. Rencana-rencana ke depan pun sudah kami bicarakan bersama klub-klub peserta. Termasuk soal pemakaian pemain asing dan pengembangan-pengembangan lain.

Plus, Women’s National Basketball League (WNBL) juga ikut meramaikan selama empat tahun.

Lalu, mengapa harus berhenti?

***

Secara resmi, saya –dan rekan-rekan di DBL Indonesia– akan menjawab bahwa kami berhenti mengelola liga karena memang kontrak kami sudah berakhir. Kontrak itu panjangnya 3 + 2. Maksudnya, setelah tahun ketiga, kami punya opsi untuk memperpanjang sampai tahun kelima.

Kenapa begitu? Dulu, liga basket ini sejarahnya dibumbui dengan ketidakharmonisan di luar lapangan. Penyelenggara tidak memuaskan lah, utang belum dibayar lah, regulasi tidak jelas lah, dan lain sebagainya.

Untuk menjaga seandainya klub-klub tidak puas dengan kami, atau kami tidak lagi harmonis dengan klub-klub, maka struktur 3 + 2 itu kami terapkan. Kalau memang tidak cocok, setelah tiga tahun kami bisa berpisah baik-baik tanpa saling menyakiti.

Tapi, ternyata cocok, dan kami pun lanjut.

Dan setelah lima tahun, kami juga merasa telah memenuhi harapan dan permintaan klub-klub ketika meminta kami bergabung. Yaitu, mengembalikan liga basket profesional di tempat yang semestinya, dengan segala kemeriahannya.

Intinya, tugas kami telah selesai sesuai permintaan.

Di luar alasan resmi itu, adakah alasan-alasan lain? Tentu saja kami tidak bisa berbohong. Ya, ada alasan-alasan lain.

Uang? Seharusnya bukan. Kalau masalah uang, kami sudah mundur sejak awal, atau minimal sejak opsi mundur pertama (tiga tahun) tiba. Saat bicara bersama seluruh klub, kami semua sepakat tidak boleh bicara soal uang. Semua yang terlibat ini adalah ”orang gila” tidak mikir uang. Lagi pula, saya sejak dulu sudah tahu risikonya, dan masih menerima ”tantangan” mengelola liga ini (walau sempat dua kali menolak).

Yang penting bagaimana menerapkan liga yang cost effective, dengan operasional klub yang juga tidak ”how high can you go”, sehingga menghasilkan atmosfer persaingan yang lebih baik (dan itu terbukti!).

Lalu, apa alasan lain? Karena saya gagal terpilih jadi ketua umum Perbasi? Ketika ditanya begitu oleh media, jawaban saya seperti ini: ”Kalau saya bilang tidak kecewa, berarti saya bukan manusia. Karena saya merasa bisa menerapkan hal-hal baru yang mungkin bisa merevolusi pengelolaan basket di Indonesia.”

Tapi, saya juga menjelaskan lebih lanjut: Walau kalah, saya tidak pernah teriak-teriak marah. Saya tidak teriak ”Curang!”. Tidak menggunakan kekuatan media di bawah pimpinan saya untuk teriak-teriak. Saya menerima dengan baik apa pun hasilnya.

Saya tidak ingin basket ini seperti olahraga lain yang karut-marut karena kepengurusan yang tidak fokus ke olahraganya, yang lebih mengutamakan gengsi orang-orangnya, atau mungkin kepentingan-kepentingan lain yang sebenarnya bukan ”olahraga”.

Saya pernah menyampaikan ke Dewan Komisaris liga (berisi klub-klub peserta), harus ada contoh tidak boleh ”sirik” atau mengutamakan ego.

Saya hanya bilang, ”Basket Indonesia sudah memilih jalannya.”

Terus terang, saya bangga juga bisa bersikap seperti ini. Pada usia 37 tahun, saya masih boleh mengaku muda. Kadang saya masih emosional, kadang belum bisa bersikap dewasa.

Saya rasa, saya sudah bersikap dewasa dalam hal ini. Semoga yang lain juga menganggap demikian…

Ayah saya toh juga selalu mengajarkan untuk tidak memaksakan kemauan. Asal kita tulus dalam berusaha, hasil akan datang dengan sendirinya. Kalau bukan jodohnya, ya jangan dipaksakan. Nanti malah sakit semua.

***

Daripada berpikir negatif, saya memfokuskan pikiran ke hal-hal happy yang mewarnai kiprah saya sebagai commissioner NBL dalam lima tahun terakhir.

Selama lima tahun, saya punya banyak teman baru. Bukan hanya para pemilik klub, tapi juga para pemain, ofisial, serta kalangan lain yang terlibat di basket. Saya juga dapat banyak kenalan dari begitu banyak fans basket di berbagai kota.

Beberapa sebenarnya sudah jadi teman sejak lama. Misalnya, Christopher Tanuwijaya dan istrinya, Sherly Humardani, bos CLS Knights dan Surabaya Fever.

Selama lima tahun, pertemanan ini mendapat ujian luar biasa. Sebagai commissioner, kadang saya harus membuat keputusan atau menjaga keputusan-keputusan liga yang belum tentu menyenangkan keduanya. Dan ini berlaku kepada teman-teman ”baru” saya yang juga terlibat di liga NBL maupun WNBL. Misalnya, Hasan Gozali (Tomang Sakti Mighty Bees) dan Syailendra Bakrie (Pelita Jaya). Semuanya berusia sepantaran dengan saya.

Setelah lima tahun ini, saya bersyukur pertemanan ini bisa terjaga. Usai pertandingan final terakhir, saya bercanda dengan Sherly, yang juga teman baik istri saya: ”Sekarang kita jalan-jalan dan belanja bareng lagi saja ya…”

Dan Hasan saya rasa juga masih siap mengombinasikan hobi memotretnya dengan menjadi kontributor foto di Jawa Pos.

Selama lima tahun, saya dan tim DBL Indonesia juga belajar banyak. Bagaimana mengelola liga dari ”minus lima” menjadi sebesar sekarang. Ini skill yang tidak mudah, dan sebelum kami belum ada pengelola yang bisa bertahan selama lima tahun.

Minggu, 10 Mei lalu, juga menjadi hari yang kami inginkan jadi hari yang happy. Kami tidak ingin liga ini berakhir seperti liga-liga sebelumnya, yang jauh dari happy.

Ayah saya juga selalu menekankan pentingnya mengakhiri segala hal dengan baik-baik. Saya tidak selalu berhasil melakukannya, tapi semoga Minggu 10 Mei lalu saya berhasil melakukannya.

Tim kami telah menyiapkan show yang spektakuler, yang bisa memukau ribuan penonton di Hall Basket Senayan dan pemirsa siaran langsung di TVRI atau di live streaming.

Video ”NBL Indonesia Journey” merupakan permintaan saya untuk tim DBL Indonesia, merangkum lima tahun kiprah kami secara tulus dalam hanya beberapa menit (akhirnya hanya tiga menit).

Video itu adalah ucapan terima kasih kami atas kesempatan lima tahun terakhir, dan terima kasih kami atas segala upaya dan dukungan semua pihak yang terlibat serta menikmati NBL Indonesia.

Video itu sekarang ada di YouTube, dan mendapat respons positif dari para penggemar basket Indonesia.

Lagu yang dipakai di video itu adalah permintaan saya. Don’t Stop Believin’ milik Journey. Karena walau masa pengelolaan kami berakhir, penggemar harus tetap percaya. Dan untuk memotivasi penerus kami untuk memenuhi kepercayaan dan harapan tersebut, seperti yang kami alami lima tahun lalu.

Toh, sekarang liga basket profesional sudah berada di tempat yang lebih baik. Tidak perlu turun ke lubang jurang dan memulai dari ”minus lima” seperti kami dulu.

***

Banyak yang bilang, berkiprah di dunia olahraga Indonesia adalah ”Thankless job”. Kalau jelek dihujat habis, kalau bagus tak dipuji.

Kami bersyukur, kalangan dan penggemar basket di Indonesia ternyata benar-benar luar biasa.

Sejak Minggu 10 Mei, tak henti ucapan terima kasih mengalir ke kami. Baik via telepon langsung, SMS, BBM, atau via medsos. Baik dari pengelola klub, pemain, pelatih, dan khususnya para penggemar basket.

Seumur hidup saya, belum pernah saya menerima ucapan terima kasih sebanyak itu dalam waktu begitu singkat.

Saya –dan tim DBL Indonesia– tidak mungkin menjawab satu per satu. Kepada semua, kami hanya bisa mengucapkan terima kasih kembali, dan mohon maaf apabila ada kekurangan selama lima tahun mengelola NBL Indonesia (plus empat tahun liga perempuan WNBL Indonesia)… (*)

Senyum, Canda, dan Wibawa

6 Mei 2015

Surat tilang bisa menghibur. Antrean imigrasi panjang juga tidak harus menyebalkan…

***

Saya termasuk beruntung, punya pengalaman ditilang di beberapa negara. Saya termasuk beruntung, karena beberapa kali ditilang itu meninggalkan kesan dan cerita yang mungkin layak dibagi.

Pada tahun pertama saya nyetir mobil di Amerika, saya pernah dihentikan polisi karena melebihi batas kecepatan. Masih pakai SIM Internasional, dengan tulisan ’’Indonesia’’, sang polisi tanpa banyak basa-basi menyatakan salah saya apa, kecepatan saya berapa, dan menulis surat tilang.

Karena baru kali itu kena tilang di Amerika, dan masih umur 17 tahun, saya dengan polos bertanya: ’’Habis ini saya harus bagaimana?’’

Sambil menatap saya, sang polisi yang naik motor gede itu bicara: ’’Hukumanmu empat tahun ikut militer di Indonesia…’’

Saya terdiam. Saya sempat bingung. Sang polisi lantas tertawa. ’’Santai, nanti kamu tinggal bayar denda lewat pos…’’

Tegas? Iya. Tapi tidak lupa bercanda.

Tentu saja, itu bukan satu-satunya surat tilang yang pernah saya dapatkan…

Sekitar akhir 2006, saya bersama beberapa rekan Jawa Pos Group sedang ke Amerika. Kami waktu itu mengunjungi beberapa negara bagian. Salah satunya ke Indiana. Selain melihat kantor dan percetakan koran di sana, kami juga mengunjungi konsultan sekaligus ayah angkat saya waktu SMA, John R. Mohn (yang pindah dari Kansas ke Indiana).

Keluar dari bandara, kami naik shuttle bus ke kawasan sewa mobil. Dari tempat sewa mobil, saya langsung mengemudikannya naik ke highway. Belum sampai lima menit, bunyi sirene terdengar dari belakang. Ada polisi naik motor meminta kami berhenti.

Lagi-lagi, saya melewati batas kecepatan. Dan waktu itu baru sadar bahwa di Indiana aturannya jauh lebih ketat daripada negara bagian lain.

Seperti biasa, dengan cepat dia menjelaskan kesalahan, lalu menulis surat tilang. Lalu, menjelaskan tinggal membayar via pos menggunakan amplop yang dia serahkan bersama surat tilang (karena saya tidak tinggal di Indiana).

Kemudian, dia bertanya. Kami hendak ke mana? Waktu itu, GPS belum tersedia luas, dan saya memang membawa peta.

Ketika saya jelaskan hendak ke mana, dia lantas memberi tahu jalan tercepat ke sana. Dia bahkan memandu mobil kami di highway itu sampai exit (jalan keluar) yang seharusnya…

Rasa sebal kena tilang –dan kena denda USD 150– agak tertutupi oleh rasa senang…

Tegas? Iya. Tapi tidak lupa membantu dan melayani…

***

Antrean imigrasi termasuk yang paling ’’menantang’’ secara mental. Lelah perjalanan jauh, lalu harus antre panjang imigrasi. Lebih sebal lagi kalau petugas imigrasinya bermuka cemberut dan bertugas seperti orang yang membenci siapa pun yang akan masuk ke negaranya. Termasuk terhadap warga negara sendiri.

Capek ketemu cemberut, jelas bukan kombinasi yang baik.

Padahal, menurut saya, jalur imigrasi ini merupakan gapura penyambut terpenting suatu negara. Kalau ramah dan nyaman, akan menggambarkan tuan rumah yang ramah dan baik.

Ironis kalau sebuah negara yang mengklaim sebagai bangsa yang ramah ternyata menyambut tamu dari negara lain dengan wajah cemberut. Dan yang cemberut itu orang pertama yang menyambut!

Pernah teman saya mengomel: ’’Sudah mejanya tinggi, orangnya susah dilihat, cemberut dan tidak ramah pula…’’

Soal urusan imigrasi ini, memang agak fifty-fifty mencari negara yang menyambut tamunya dengan keramahan hotel bintang lima.

Tapi rasanya, tidak terlalu ramah tidak apa-apa, asal prosesnya cepat, antreannya rapi, dan petugasnya tidak cemberut…

Amerika termasuk yang banyak berubah belakangan ini. Setelah Serangan 11 September 2011, sempat sangat-sangat ketat. Walau setiap tahun ke Amerika, saya termasuk yang harus menjalani pemeriksaan secondary (lapis kedua) setiap kali masuk Negeri Paman Sam.

Prosedurnya lebih panjang, lebih lama, lebih melelahkan. Mau keluar Amerika pun harus lapor lagi di kantor terpisah.

Tentu saja, beberapa tahun lalu, prosedur itu tidak lagi seketat dulu. Namun, saat masa transisi, petugas yang memproses saya di bandara Seattle-Tacoma sempat salah prosedur. Ketika salah klik di layar monitor, saya batal bebas pemeriksaan secondary. Harus melaporkan diri lagi nanti sebelum pulang ke Indonesia via San Francisco.

Namun, petugas itu termasuk gentleman. Dia mengakui kesalahannya, dan setelah menyatakan maaf menyampaikan ’’kabar buruk’’ tersebut.

’’Nanti kalau Anda mau balik lewat San Francisco, silakan bilang ke petugas di sana kalau petugas a****e (istilah bodoh, Red) di Seattle telah membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak apa-apa. Sekali lagi mohon maaf,’’ ucapnya.

Sebal? Iya. Capek? Iya. Tapi agak terhibur juga dengan komentar itu. Tidak perlu marah-marah. Jarang-jarang kan mendengar seorang petugas mengakui kesalahannya dan menyebut diri sendiri ’’bodoh’’? Tidak melempar kesalahan, apalagi menutup-nutupinya…

Walau pelayanan makin cepat makin baik, saya rasa sedikit chit chat penting juga di proses imigrasi ini.

Ketika liburan keluarga dan mendarat di Portugal tahun lalu, saya maju ke petugas bersama anak pertama saya yang bernama Ayrton. Walau namanya dari pembalap Brasil, bahasa yang dipakai di Brasil kan bahasa Portugis.

Melihat paspor anak saya, sang petugas lalu melihat saya dan tersenyum. ’’Saya ingat betul sedang berbuat apa ketika kejadian itu berlangsung (tabrakan yang menewaskan Ayrton Senna, Red),’’ celetuknya lantas tersenyum.

Tidak ada komentar lanjutan, saya juga tidak berkomentar banyak. Tapi sudah memberi kesan ’’hangat’’.

Tegas + canda + melayani + gentleman + sedikit chit chat = Wibawa. (*)